Cerpen : Sokat Rachman
Sore itu, di halaman belakang rumah Dita tampak ada kesibukan. Semua teman sekolah Dita berkumpul di sana. Pakaian yang mereka kenakan pun beragam. Tapi, semua terlihat sedap dipandang. Dita juga begitu. Dia mengenakan gaun terusan berwarna merah jambu. Cantik terlihat.
Pada meja-meja yang disusun di pinggir taman, terhidang kue-kue segala rasa. Tak ketinggalan juga minuman yang tak kalah enaknya.
“Selamat ulang tahun, ya, Dit,” ucap Wita yang baru saja tiba bersama Nita dan Yuli menyalami Dita.
“Terima kasih, ayo segera dinikmati hidangannya,” balas Dita sambil tersenyum.
Mata Dita terus memandang ke sekeliling. Dia seperti tengah mencari seseorang.
“Kemana Ardi, ya? Kok dia belum kelihatan?” gumamnya.
Ardi adalah juga teman sekelas Dita. Dia anak baru, pindahan dari Bandung. Tadi siang, saat di sekolah, Dita sudah berpesan pada Ardi agar ikut datang di pesta ulang tahunnya. Dan Ardi mengiyakan.
Namun, kenyataannya, sampai satu jam berlalu, Dita belum juga melihat kedatangan Ardi di rumahnya. Dita jadi kesal. Padahal, dia sudah menyebarkan berita akan kedatangan Ardi itu pada geng “Wewet”, gengnya Wita, Nita, dan Yuli yang cerewet itu.
“Kemana sih tuh anak, katanya mau datang. Bikin sebel!” umpat Dita.
Uff! Dita langsung sadar dan menutup mulutnya. Dia tak mau teman-temannya yang lain, apalagi Wita, melihat kekesalannya. Dita memandang ke sekeliling. Untung saja teman-temannya sedang pada asyik menikmati kue-kue sambil ngobrol, jadi tak ada yang memperhatikan.
“Dita ayo dimulai saja acaranya,” kata Tante Kiki yang barusan muncul dari balik pintu belakang rumah.
Tante Kiki itu adalah adik papanya Dita. Dita menganggukkan kepalanya dan melangkah mengikuti Tante Kiki ke tengah halaman. Di tengah halaman itu terdapat sebuah meja kecil. Di atasnya, ada kue tart ulang tahun yang berhias mentega berbentuk bunga mawar merah di sekelilingnya.
Di atas kue tart tersebut ada lilin kecil berbentuk angka sebelas. Tante Kiki langsung saja menyalakan lilin itu. Teman-teman Dita yang sedari tadi sudah menunggu acara dimulai, langsung bergerumun di sekeliling Dita yang bersiap meniup lilin.
“Satu… dua… tiga…!” ucap Tante Kiki memberi aba-aba yang diikuti Dita dengan meniup lilin.
Nyala api lilin langsung padam. Anak-anak yang lain langsung bertepuk tangan sambil bernyanyi lagu “Happy birthday”. Tante Kiki mencium kedua pipi Dita.
“Potong dong kuenya,” teriak satu anak lelaki.
“Iya, abis itu kasih ke aku,” sahut anak lelaki lainnya.
“Uuuuu… mau enaknya saja,” balas beberapa anak perempuan serempak.
Anak lelaki yang disoraki hanya tersenyum malu.
Dita tersenyum. “Jangan khawatir, kue ini akan aku potong dan kalian dapat menikmatinya semua.”
“Horreeee….!” Sorak anak laki-laki.
Dita tersenyum lagi. Wita, Nita, dan Yuli menghampiri Dita.
“Kemana nih cowok yang bakal mendapat kue pertamamu,” ledek Wita.
Dita tersenyum malu. “Mungkin dia nggak bisa datang, tapi dia sudah janji kok.”
“Janji mau nggak datang maksudmu?” nyinyir Nita. Wita dan Yuli tertawa. Dita jadi sebel.
“Artinya kamu kalah taruhan dengan kita dong? Katanya kamu bakal bisa bikin Ardi datang ke pesta ulang tahunmu?” tandas Yuli.
Dita terdiam.
“Ya, sudah, Dit, mungkin bukan rezekimu, kalau kamu mau ketemu Ardi, datang saja hari Minggu besok ke rumahku, Ardi juga akan kuundang kok,” sambung Wita.
“Memang ada apa hari Minggu nanti?” tanya Dita.
“Perayaan ulang tahunku,” jawab Wita enteng.
“Lho bukannya hari ulang tahunmu sudah lewat?” tanya Dita lagi.
“Memangnya salah kalau aku mau merayakannya lagi?” tukas Wita. “Lagi pula kalau yang kemarin itu, aku, kan belum mengundang Ardi untuk datang.”
“Ada-ada saja kamu,” tukas Dita dengan perasaan tak menentu.
“Dan aku bertaruh Ardi pasti datang kali ini,” lanjut Wita yakin.
Dita terdiam lagi. Sampai acara pesta selesai, Dita masih menyimpan ganjalan di hatinya. Semua adalah karena ketidakhadiran Ardi, cowok cakep yang pintar matematik itu.
***
“Kamu kenapa sih nggak datang ke rumahku kemarin?” tanya Dita gusar saat Ardi tiba di bangkunya keesokan harinya.
Ardi merasa serba salah. “Maaf, Dit… soalnya aku… aku….”
“Kenapa? Apa undangan ulang tahunku itu tak penting buatmu?”
“Bukan begitu, Dit,” lanjut Ardi.
“Habis kenapa kamu tak datang?”
Ardi memberanikan diri menatap mata Dita. “Ibuku sakit,” ucap Ardi pelan.
Dita terpaku. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Matanya tak lepas menatap Ardi.
“Aku tak bisa meninggalkannya sendiri,” tukas Ardi. “Hari ini saja maunya aku tak masuk sekolah, tapi Ibu memaksaku untuk tetap masuk.”
“Ibumu sudah ke dokter?” tanya Dita tak lagi marah.
Ardi tersenyum mengangguk. “Kata dokter, Ibuku cuma terlalu capek, kerjaan di kantornya bikin Ibu sering lembur sampai malam, jadi hanya perlu istirahat.”
Mata Dita memanas, seperti ada air yang mau keluar.
“Kamu kok jadi sedih begitu?” tanya Ardi bingung.
“Aku teringat Mamaku, Di,” kata Dita.
“Kata anak-anak, Mamamu meninggal dalam kecelakaan di luar kota, ya?” tanya Ardi hati-hati.
Dita mengangguk. “Itulah yang bikin aku selalu sedih kalau mendengar cerita tentang Ibu.”
“Oh, maaf, kalau ceritaku sudah membuatmu sedih,” ucap Ardi.
Dita tersenyum.
“Atau kau mau main ke rumahku untuk bertemu Ibuku?” tanya Ardi.
Dita melongo. “Kamu mau mengajakku ke rumahmu?”
“Iya, kamu mau, kan? Ibuku pasti senang bertemu denganmu.” tanya Ardi lagi.
Dita tersenyum. Dia teringat perkataan Wita yang meledeknya kemarin.
“Bagaimana kalau hari Minggu saja aku ke rumahmu?” tawar Dita.
“Oh, boleh, malah bagus, Ibu sedang ada di rumah,” kata Ardi. “Dan biasanya Ibu suka bikin kue di saat libur bekerja.”
Dita tersenyum senang. Dia sudah bisa membayangkan bagaimana wajah Wita begitu tahu Ardi tak bisa datang di pestanya hari Minggu nanti. Apalagi kalau Wita sampai tahu bahwa Ardi sudah mengajak Dita datang ke rumahnya. Bisa nangis Bombay Wita.
“Hm…, boleh aku mengatakan sesuatu?” sambung Ardi yang membuat lamunan Dita buyar.
Dita manggut lagi.
“Maaf jika aku tak bisa datang kemarin, tapi aku nggak lupa untuk memberimu ini,” tukas Ardi sambil membuka tas ranselnya dan mengeluarkan sebuah boneka The Pooh, “Selamat ulang tahun,ya.”
Dita tersenyum haru. Ada bunga-bunga muncul di hatinya. Hari itu begitu indah sekali, baginya.
*****
Nusa indah9, 230306
(Girls edisi no. 18/ April 2006)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar